|
Doa Qunut dan Hal-ihwal |
Do'a Qunut, Pengertian Do’a Qunut, Dalil Tentang Do’a Qunut, Macam-macam
Do’a Qunut, Hukum Membaca Do’a Qunut, Redaksi Bacaan Do’a Qunut dan Contoh Do’a
Qunut Arab dan Latin
1. Pengertian Doa Qunut
Secara bahasa Qunut artinya Do’a. Secara istilah Qunut dibagi dua, yaitu Qunut Nazilah dan Qunut Subuh :
1. Qunut Nazilah yaitu : Qunut yang dibaca dalam shalat fardu ketika
umat islam menghadapi bahaya, wabah penyakit, bencana atau tantangan dari orang
kafir.
2. Qunut subuh atau Qunut witir
yaitu : qunut yang dikerjakan
pada saat i’tidal rakaat ke-2 dalam shalat subuh atau witir
2. Dalil-dalil Qunut
Hukum Qunut adalah sunat, diantara sahabat yang mensunahkan
diantanya Abu Bakar As-Sidik, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Tholib,
Ibnu Abbas dan Barra Bin Aziz. Dalil yang dijadikan pedoman untuk mensunahkan
qunut adalah hadist Nabi Muhammad SAW :
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ مَا زَالَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى
فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد)
Diriwayatkan dari Anas bin Malik
R.A “Beliau berkata, “Rasululloh senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh
sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad). Pakar hadis Muhammad bin Alan as-Sidiqi
dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah mengatakan bahwa hadis ini yang benar
dan diriwayatkan serta disahihkan oleh golongan pakar yang banyak yang banyak
hadist. Sedangkan do`a qunut yang
diajarkan langsung oleh Nabi SAW adalah sebagai berikut lengkap dengan artinya:
اَلَّلهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ
هَدَيْتَ,وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنّا فِيْمَنْ تَوَلَّيَتَ،
وَبَارِكْ لِي فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى
وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لَايَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَايَعِزُّ مَنْ
عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلَى مَا
قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ. (رواه النسائ ١٧٢٥،وأبو داود
١٢١٤،والترميذى ٤٢٦،وأحمد ١٦٢٥،والدارمي ١٥٤٥بسند الصحيح)
“Ya Allah, berikanlah kami
petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, Berilah kami
perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah
kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri pertolongan.
Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah
kami dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan. Sesungguhnya Engkau
adalah Dzat yang Maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan
hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi.
Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu dan atas segala yang
Engkau pastikan. Kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’I :1725,
Abu Dawud :1214, Al-Tirmidzi :426, Ahamad :1625 dan Al-Darimi :1545 dengan
Sanad yang Shahih)
Dalil kedua disebutkan dalam
kitab fiqh as-Sunah Juz II halaman 38-39 :
وَمَذْهَبُنَا الشَّافِعِيُّ: اِنَّ
الْقُنُوْتَ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ
الثَّانِيَّةِ سُنَّةٌ لِمَا رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ الِاَّ التِّرْمِيْذِى عَنِ
ابْنِ سِيْرِيْنَ اَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ النَّبِيُ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِفى صَلَاةِ الصُّبْحِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ
قَبْلَ الرُّكُوْعِ اَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: بَعْدَ الرُّكُوْعِ.
Ulama As-Syafi’iyah mengatakan :
Kedudukan qunut pada shalat subuh persisnya ketika bangkit dari rakaat kedua,
hukumnya sunah karena ada hadist yang diriwayatkan ahli hadis kecuali
at-Tirmidzi. Hadis itu diriwayatkan dari ibnu Sirin, Anas bin Malik pernah
ditanya: Apakah Nabi menjalankan qunut pada shalat subuh? Jawab anas: Ya!
Kemudian ditanya lagi: letaknya dimana sebelum atau sesudah ruku’? Jawabnya:
Sesudah ruku’ (fiqh As-Sunah,Juz 11,hlm.38-39)
Dalil ketiga sebagaimana
disebutkan dalam kitab Hamizsy Qalyubi Mahalli Juz I halaman 57
وَيُسَنُّ الْقُنُوْتُ فِي اعْتِدَالٍ
ثَانِيَةِ الصُّبْحِ- اِلَى اَنْ قَالَ- لِلاتِّبَاعِ رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِى
اْلمُسْتَدْرَكِ عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ
فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَيَدْعُ بِهَذَا الدُّعَاءِ
“اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ …. اِلَى اَخِرِ مَا تَقَدَّمَ- لَكِنْ لَمْ يَذْكُرْ
رَبَّنَا. وقال صحيح.
Doa Qunut itu disunahkan letaknya
ketika I’tidal, reka’at kedua shalat subuh, Keterangan tersebut sampai: ……..
karena mengikuti Nabi. Hadis diriwayatkan Hakim dalam kitab Mustadrak dari Abu
Hurairah: Rosululloh mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh pada
reka’at kedua, dia mengangkat tangannya kemudian berdo’a : Allohumma ihdini
fi-man hadait… Rosululloh tidak memakai kata-kata robbana. Hadis ini shahih.
Ketiga, dalam Nail al-Authar, Juz
II hlm:387:
فَاِنَّهُ اِنَّمَا سَأَلَ اَنَسًا عَنْ
قُنُوْتِ اْلفَجْرِ فَأَجَابَهُ عَمَّا سَأَلَهُ عَنْهُ وَبِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وَسَلِّمْ كَانَ يُطِيْلُ صَلَاةِ اْلفَجْرِ دُوْنَ
السَّائِرِ الصَّلَوَاتِ. قَالَ وَمَعْلُوْمٌ اِنَّهُ كَانَ يَدْعُوْ رَبَّهُ
وَيُثَنَّى عَلَيْهِ وَيُمَجِّدُهُ فِى هَذَا اْلاِعْتِدَالِ. وَهَذَا قُنُوْتٌ
مِنْهُ بِلَارَيْبٍ فَنَحْنُ لَانَشُكُّ وَلَا نَرْتَابُ اِنَّهُ لَمْ يَزَلْ
يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.
Ketika ditanya sahabat tentang
qunut fajar, Anas menjawab: Rasululoh (ketika qunut), ia memanjangka shalat fajar
(Subuh) tidak seperti shalat lainnya. Panjang, karena ia membaca do’a, memuji
Alloh, mengagungkan-Nya dalam I’tidal ini. Inilah yang dikatakan qunut, tidak
diragukan lagi. Kita tidak perlu syak (bimbang) dan ragu lagi bahwa Nabi
membaca qunut dalam shalat subuh sampai meninggal !. Wallohu a'lam.
Masalah Qunut Pada Sholat Subuh, Dalil dan Hukum Membaca Do’a Qunut
Subuh
Doa Qunut Shubuh yang hampir
dilakukan oleh mayoritas masyarakat muslim Indonesia khususnya warga
Nahdhiyyin, menjadi salah satu obyek pekerjaan tetap orang-orang di luar
kalangan Sunni untuk memancing kemarahan dan percekcokan. Mereka mengatakan
bahwa hadits tentang qunut Shubuh adalah dha‘if, sehingga mengamalkannya adalah
sebuah kesalahan dan bid’ah yang harus dihindari jauh-jauh. Padahal kalau kita
jujur, masalah ini adalah masalah ijtihadiyyah yang tidak diperkenankan untuk
gegabah menolak. Sedangkan mengenai haditsnya pun ulama juga masih
menyelisihkannya antara shahih dan tidaknya.
Dasar amalan qunut Shubuh menurut
madzhab asy-Syafi’i adalah berdasar hadits berikut:
مَا زَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulallah selalu melakukan
qunut pada shalat Shubuh hingga beliau wafat.”
Hadits tersebut di riwayatkan
oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya dan Ishaq bin Rahuyah (bukan Rahawaih) dalam
Musnad-nya dari shahabat Anas.
Imam an-Nawawi mengatakan bahwa
hadits qunut Shubuh adalah shahih diriwayatkan oleh banyak huffazh (jam' dari
kata al-hafizh) dan semua mengatakan shahih. Diantara ulama yang mengatakan
shahih adalah al-Hafizh al-Balkhi, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Begitu juga Imam
ad-Daraquthni juga meriwayatkan dengan sanad shahih.
Al-Baihaqi—dengan sanad hasan—meriwayatkan
dari Awwam bin Hamzah, dia mengatakan: “Aku bertanya kepada Abu ‘Utsman tentang
qunut Shubuh dan beliau menjawab: ‘Qunut Shubuh dilakukan setelah rukuk.’ Aku
kembali bertanya: ‘Dari siapa keterangan tersebut?’ Beliau menjawab: ‘Dari Abu
Bakar, Umar dan ‘Utsman radhiyallahu ‘anhum.’” Al-Baihaqi juga meriwayatkan
dari tabi’in, Abdullah bin Ma’qil dengan sanad shahih masyhur, bahwa Ali bin
Abi Thalib melakukan qunut dalam shalat Shubuh.
Imam Muslim meriwayatkan dari
al-Bara’ ra. hadits:
إَنَّ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْنُتُ فِي الصُّبْحِ
وَالْمَغْرِبِ
“Sesungguhnya Rasulallah melakukan qunut pada shalat Shubuh dan
Maghrib.”
Dengan ini semua, menjadi terang
bahwa semua pernyataan mengenai tidak didapatkan dalil dari hadits shahih
tentang disyariatkannya qunut Shubuh telah terbantahkan.
Sebenarnya, hadits tentang qunut
Shubuh riwayat dari shahabat Anas di atas masih diperselisihkan ulama ahli
hadits. Sebagian ahli hadits mengatakan dha‘if dan sebagian yang lain
mengatakan shahih, seperti an-Nawawi, al-Baihaqi dan lain-lain.
Lepas dari khilafiyyah tentang penilaian
hadits di atas, tidak menerima hasil pen-tashhihan hadits dari an-Nawawi,
al-Baihaqi dan ulama lain yang sudah teruji keilmuannya, baik di bidang hadits
maupun yang lain, maka hal itu semakin memperjelas sikap ekstrim serta dan
tidak menghormati jerih payah ijtihad ulama-ulama hanya karena berbeda
keyakinan. Apalagi masalah ini adalah masalah khilafiyyah, baik yang mengatakan
disunahkan qunut Shubuh (asy-Syafi’i dan Malik) atau tidak (Abu Hanifah dan
Ahmad), semua mempunyai dasar dan dalil.[6] Dan menghina bukanlah ciri khas
muslim sejati.
Dengan hadits tentang qunut yang
dinilai shahih oleh segolongan ahli hadits, jika masih saja ada yang kalangan
yang menyatakan qunut adalah suatu bid'ah dan dosa, maka orang tersebut
mendapat sangsi keras lantaran telah mencederai ijtihad Imam asy-Syafi’i dan
Imam Malik, serta ulama-ulama pengikutnya dalam menetapkan qunut Shubuh.
Dalam al-Mudawwanah di tuliskan
bahwa Ibnu Mas'ud, Hasan al-Bashri, Abu Musa al-Asy'ari, Ibnu Abbas, Abu
Bakrah, Abdurrahaman bin Abi Laila mengatakan bahwa qunut adalah sunnah yang
telah lalu. Bahkan Ibnu Sirin, Rabi' bin Khutsaim, Bara' bin Azib dan Abidah
as-Salmani juga melakukan qunut Shubuh.
Memang, penetapan disyariatkan
atau tidaknya qunut Shubuh masih diperselisihkan para ulama, termasuk para
mujtahid madzhab empat. Namun, alangkah lebih terhormat, arif dan bermartabat
apabila masalah ini di dudukkan sebagai masalah khilafiyyah sehingga kita tidak
gegabah menilai salah ijtihad ulama lain. Akan tetapi realitas menunjukkan
bahwa kalangan muslim yang berada di luar lingkungan Ahlussunnah, tidak bisa
memposisikan khilaf dalam koredor hukum ijtihadiyyah yang sebenarnya. Bukankan
para shahabat Rasulallah atau salaf shalih juga berselisih dalam hukum? Namun
mereka tetap saling menghormati satu dengan yang lain. Sebandingkah pulakah
mereka dengan Imam asy-Syafi’i dan Imam Malik bin Anas sehingga mereka
menganggap ijtihad mereka tentang qunut Shubuh adalah batil. Tidak sadarkah
mereka bahwa perilaku menghina pengamal qunut Shubuh adalah tindakan yang tidak
sejalan dengan sunnah Rasulallah dan para shahabatnya yang menghormati ijtihad
orang lain?! Banyak orang yang mengaku paling membela sunah Rasulallah tapi
akhlaknya jauh dari apa yang diajarkan oleh Rasulallah. Na’udzubillah
Kemudian Ashhab (pengikut)
asy-Syafi’i dalam menanggapi hadits-hadits tentang tidak adanya qunut Shubuh
adalah sebagai berikut:
1.Hadits shahih riwayat Bukhari
dan Muslim dari Anas bahwa:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ
تَرَكَهُ
“Rasulallah melakukan qunut
selama sebulan[7], mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah
dari Bani Sulaim) kemudian tidak melakukan qunut lagi.”
Maksud hadits tersebut adalah
Rasulallah tidak lagi melakukan qunut atau doa untuk orang kafir dan
melaknatnya, bukan meninggalkan semua qunut, yang artinya Rasulallah masih
tetap melakukan qunut biasa. Ta’wil ini dilakukan untuk mengumpulkan hadist di
atas dengan hadits riwayat Anas bahwa “Rasulallah selalu melakukan qunut Shubuh
sampai beliau wafat” yang juga shahih secara jelas, maka wajib adanya jam‘u
dalilain (pengumpulan dua dalil). Penta’wilan ini dikuatkan riwayat al-Baihaqi
dari Abdurrahman bin Mahdi, dia mengatakan: “Rasulallah meninggalkan doa
laknat.”
Lebih jelas lagi, sebagai penguat
ta’wil di atas adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah melakukan
qunut setelah rukuk dalam shalatnya selama sebulan, mendoakan seseorang kemudian
tidak melakukan doa lagi.
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى
أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
“Rasulallah ketika akan mendoakan
jelek kepada seseorang atau mendoakan baik untuk seseorang, maka beliau akan
qunut (berdoa) setelah rukuk.’”
1.Hadits riwayat dari Anas dan
dishahihkan Ibnu Khuzaimah
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنَتُ إِلاَّ إِذَا
دَعَا الْقَوْمَ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
“Rasulallah tidak melakukan qunut kecuali apabila berdoa
kebaikan untuk kaum atau mendoakan jelek pada suatu kaum.”
Dengan hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dai Anas di atas, beberapa orang yang anti qunut Shubuh mendakwakan
bahwasannya hadits tentang qunut Shubuh bertentangan dengan hadits tersebut.
Pernyataan tersebut tidak benar, karena hadits tersebut berbicara tentang qunut
nazilah, bukan qunut Shubuh. Lantaran kata “yaqnutu” pada hadits tersebut
bermakna doa bukan bermakna qunut. Andai hadits tersebut berkaitan dengan qunut
Shubuh, tentu hadits ini menjadi dalil bagi Madzhab Hanafi dan Abu Yusuf
tentang tidak bolehnya melakukan qunut Shubuh, padahal dalil madzhab Hanafi dan
Abu Yusuf yang tidak mensyariatkan qunut Shubuh bukan berdasar hadits di atas.
Madzhab Hanafi, madzhab Ahmad bin
Hanbal dan Abu Yusuf mengambil dalil tentang tidak bolehnya mengamalkan qunut
Shubuh dengan hadits riwayat at-Tirmidzi dan lain-lain.
Redaksi dan Bacaan Do’a Qunut Nazilah
Qunut Nazilah ialah Qunut di
selain shalat subuh dan witir di bulan Ramadhan diperbolehkan menurut mayoritas
ulama, qunut ini dilakukan saat bencana melanda kaum muslimin.
واما غير الصبح من المكتوبات فهل يقنت فيها
فيه ثلاثة اقوال حكاها امام الحرمين والغزالي وآخرون (الصحيح) المشهور الذى قطع به
الجمهور ان نزلت بالمسملين نازلة كخوف أو قحط أو وباء أو جراد أو نحو ذلك قنتوا في
جميعها وإلا فلا(والثانى)يقنتون مطلقا حكاه جماعات منهم شيخ الاصحاب الشيخ أبو
حامد في تعليقه ومتابعوه(والثالث) لا يقنتون مطلقا حكاه الشيخ أبو محمد الجويني
وهو غلط مخالف للسنة الصحيحة المستفيضة " ان النبي صلي الله تعالي عليه وسلم
قنت في غير الصبح عند نزول النازلة حين قتل اصحابه القراء
[ Masalah ] 1. Apakah diselain
shalat shubuh boleh menjalankan Qunut ?
Terdapat tiga pendapat mengenai
hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Haramain, al-Ghazali dan
Ulama-ulama lainnya :
Pendapat
shahih yang mashur yang diputuskan oleh mayoritas ulama “bila kaum muslimiin sedang
ditimpa musibah seperti ketakutan, bencana, paceklik, wabah dan sejenisnya
berqunutlah disetiap waktu shalat, bila tidak jangan
Berqunutlah
secara muthlak, pendapat Syekh Ashaab, Abu Hamid dan pengikut-pengikutnya
Jangan
Qunut secara mutlak, pendapat Syekh Abu Muhammad al-Juwainy. [ Al-Majmu’
syarh al-Muhadzdzab III/492 ]. Wallaahu A'lamu Bis showaab
Masalah Qunut pada sholat shubuh
termasuk persoalan-persoalan fiqih cabang yang tidak sepatutnya menjadikan kaum
muslim terpecah belah dan saling bermusuhan karenanya. Dalam menjelaskan
masalah ini, para ahli fiqih berbeda pendapat tentangnya.
Para ulama madzhab Syafi’i dan
madzhab Maliki Sunnah. Sementara, para ulama madzhab Hanafi dan Madzhab Hambali
berpendapat tidak ada qunut pada shalat subuh.
Imam Nawawi berkata, “Kketahuilah
bahwa qunut pada shalat subuh itu disyariatkan menurut madzhab kami. Hukumnya
sunnah muakkad, karena hadis yang diriwayatkan oleh Annas bin Malik Ra,
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ
الدُّنْيَا
“Rasulullah Saw senantiasa
melakukan qunut pada shalat subuh sampai Beliau meninggalkan dunia”
(HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol.
III, hal 162; Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110;
Daraquthni, Sunan Daruquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsani
di dalam Majma’ Al-Zawaid, vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-arba’in,
dan dia berkata, “Hadits shahih; para periwatnya seluruhnya adalah orang-orang
yang tsiqah.”)
Mereka berkata seandainya
meninggalkannya, shalatnya tidak batal. Akan tetapi, ia harus melakukan sujud
sahwi, baik ia meninggalkannya dengan sengaja atau karena lupa.”
Berkenaan dengan hukum qunut
shalat subuh, banyak perkataan-perkataan dan bentuk-bentuk qunut yang dikutip
dari sebagian sahabat dan kalangan tabi’in. Di antaranya adalah pendapat Ali
bin Ziyad uang menyatakan wajib melakukan qunut pada shalat subuh. Jadi apabila
dia meninggalkannya, shalatnya batal.
Dan boleh dilakukan sebelum ruku’
atau sesudahnya pada roka’at kedua. Akan tetapi, yang disunnahkan dan lebih
utama adalah melakukannya sebelum ruku’ setelah selesai membaca ayat, tanpa
bertakbir sebelumnya. Hal itu, karena padanya terkandung unsur toleransi kepada
orang yang masbuq. Tidak dibedakan antaranya dengan dua rukun shalat (yang
ditandai dengan takbir). Dan qunut telah menjadi ketetapan yang diamalkan pada
zaman Umar Ra dengan kehadiran para sahabat.
Qadhi Abdul Wahhab al-Baghdadi
berkata, “Diriwayatkan dari Abu Raja Al-Atharidi bahwa dia berkata, “Pada
awalnya qunut itu dilakukan setelah ruku’. Lalu Umar menjadikannya sebelum
ruku’ agar orang yang mengejar shalat (jama’ah) bisa mendapatnkannya. Dan
diriwayatkan bahwa golongan Muhajirin dan Anshar meminta hal itu kepada Utsman.
Dia pun menjadikannya sebelum ruku’ karena didalam hal itu terdapat faidah yang
tidak didapatkan apabila dilakukan sesudahnya, yaitu yang tidak didapatkan
apabila dilakukan sesudahnya, yaitu posisi berdiri yang lama sehingga orang
yang terlambat datang bisa mendapatkan raka’at. Maka sebelum ruku’ lebih utama
dengan alasan itu, terlebih lagi pada shalat subuh.
Menjadi rajih dan kuat pendapat
Madzhab Syafi’i mengenai qunut karena kuatnya dalil-dalil mereka sebagai
berikut:
• Hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah Ra, dia berkata, “Rasulullah Saw apabila mengangkat kepalanya dari
ruku’ pada saat shalat subuh di raka’at yang kedua, beliau pun berdo’a dengan
do’a ini: “Ya Allah, tunjukilah aku di dalam golongan orang-orang yang Engkau
beri petunjuk....(hingga akhir).” Dalam riwayat Baihaqi terdapat tambahan
ungkapan, “Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau tetapkan.” Dan, Thabrani
menambahkan, “Dan tidak mulia orang yang menentang-Mu.”
HR. Hakim, Al-Mustadrak, vol. IV,
hlm. 298; Baihaqi, Al-Sunan Ash-Shugra vol. I, hlm. 276; Thabrani, Al-Mu’jam
Al-Awsath, vol. VII, hlm. 232; dan disebutkan oleh Ash-Sha’ani, Subul Al-Salam,
vol. I, hlm. 186-187
• Hadits Anas bin Kalik Ra bahwa,
“Rasulullah Saw senantiasa melakukan qunut pada sahalat subuh sampai beliau
meninggalkan dunia.” ¹ Dan Annas ditanya, “Apakah Rasulullah Saw melakukan
qunut pada shalat subuh?” Dia menjawab, “Benar.” Ditanyakan lagi kepadanya,
“Apakah sebelum ruku’ atau setelah ruku’?” Dia menjawab, “Setelah ruku’.”
¹ HR. Ahmad, Musnad Ahmad, vol.
III, hlm. 162; Abdurrazzaq, Mushannaf Abdurrazzaq, vol. III, hlm. 110;
Daraquthni, Sunan Daraquthni, vol. II, hlm. 39; dan disebutkan oleh Al-Haitsami
di dalam Majma’ Az-Zawaid vol. II, hlm. 139; serta Hakim di dalam Al-Arba’in,
dan dia berkata, “Hadits Shahih; para periwayatnya seluruhnya adalah
orang-orang yang Tsiqah.”
• Hadits yang diriwayatkan dari
Abu Hurairah Ra; dia berkata: “Demi Allah, aku adalah orang yang paling dekat
diantara kalian dalam shalat dengan Rasulullah Saw”. Dan Abu Hurairah melakukan
qunut pada raka’at terakhir shalat subuh setelah dia mengucapkan sami‘allahu
liman hamidah, berdoa bagi orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan
melaknat orang-orang kafir.
HR. Baihaqi, As-Sunan Ash-Shugra,
vol. I, hlm. 277, cet. Maktabah Al-Dar
• Dari Abdullah bin Abbas Ra, dia
berkata, “Rasulullah Saw mengajarkan kepada kami doa yang kami panjatkan
didalam qunut pada shalat subuh:
“Ya Allah berilah petunjuk kepada
kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami dalam
kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan
orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau
berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak
diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau,
Tuhan kami, dan Mahatinggi.”
HR. Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra,
vol. II, hlm. 210, cet. Maktabah Al-Baz
• Dan pada hadits, “Rasulullah
Saw apabila mengangkat kepalanya dari raka’at yang kedua, Beliau pun mengangkat
kedua tangan dan berdoa dengan do’a ini: Ya Allah, tunjukilah aku di dalam
golongan orang-orang yang Engkau beri petunjuk.” Didalam riwayat lain, “Bahwa
apabila Beliau mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh di raka’at
yang terakhir, Beliau melakukan qunut.”
Imam Syuyuthi, al-Jami’
al-Shaghir, vol. I, hlm. 157, cet. Thair al-Ilmi. Syaikh al-Albani berkata,
“Hadits shahih.” Lihat, Al-Albani, Shahih al-Jami’, 4730.
Adapun lafaz doa qunut, maka yang
dipilih adalah apa yang diriwayatkan dari Hasan bin Ali Ra, dia berkata,
“Rasulullah Saw mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang aku ucapkan pada
shalat witir,
“Allahummah dina fiman hadait, Wa
afina fiman afait, Wa tawal lana fiman tawal lait, Wawaba riklana fi ma a’tait,
Waqina syar rama qadait, innaka taqdi wala yukda alaik, inna hu laa yazillu man
walait, Taba rakta rabbana wata alait.”
“Ya Allah berilah petunjuk kepada
kami di dalam golongan orang yang Engkau berikan petunjuk; sehatkan kami dalam
kelompok orang yang Engkau beri kesehatan; peliharalah kami dalam golongan
orang yang Engkau pelihara; limpahkan berkah bagi kami pada apa yang Engkau
berikan; dan lindungilah kami pada apa yang Engkau memutuskan dan tidak
diputuskan atas-Mu; tidak menjadi hina orang yang membela-Mu; Mahasuci Engkau, Tuhan
kami, dan Mahatinggi.”...
Para ulama menambahkan padanya,
“Wala yaizzu man adait”. “Dan tidak mulai orang-orang yang menentang-Mu,”
Serta : “Falakal hamdu ala maa
qadait astaghfirka wa atuubu ilaik”. “Maka, bagi-Mu pujian atas apa yang Engkau
tetapkan; aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu”.
Sebelum : “Taba rakta rabbana
wata alait.”. “Mahasuci Engkau, Tuhan kami, dan Mahatinggi.”
Dalam Raudlah Ath-Thalibin, Imam
Nawawi berkata, ”Para sahabat kami (ulama madzhab) berkata, “Tidak mengapa
dengan tambahan ini.” Abu Hamid, al-Bandaniji, dan lain-lain berkata dalam
Nihayat Al-Muhtaj, vol. I, hlm. 503 mengatakan, “Sunnah.”. Dan disunnahkan agar
dia mengucapkan setelah doa tersebut, “ Ya Allah, limpahkan shalawat kepada
Muhammad dan keluarga Muhammad, serta salam sejahtera”. Dan itu menurut pendapat
yang shahih dan Masyhur.
Berdasarkan keterangan yang telah
dikemukakan, bahwa pendapat Madzhab Syafi’i kuat dan rajih, yaitu qunut di
dalam shalat subuh itu sunnah; disunnahkan bagi orang yang meninggalkannya agar
melakukan sujud sahwi untuk menggantikannya. Akan tetapi, tidak batal shalat
dengan meninggalkannya. Dan Allah Swt Maha Tinggi lagi Maha Mengetahui.
(dikutip dari : Al-Bayan Al-Qawim
li Tashih Ba’dhi Al-Mufahim, Syekh Ali Jum’ah, Mufti Mesir).
TAMBAHAN :
Katanya tentang hadist bahwa
rasulullah saw. meninggalkan doa qunut itu maksudnya bukan qunutnya melainkan
hanya sebagian doanya yang ada pada qunut nazilahnya (tentang laknat atas suatu
kaum) ?
Ya,mungkin yang maksud :
PERTAMA : Hadits shahih riwayat
Bukhari dan Muslim dari Anas :
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ
تَرَكَهُ
“Rasulallah melakukan qunut
selama sebulan , mendoakan jelek kepada satu kelompok (salah satu kabilah dari
Bani Sulaim) kemudian tidak melakukan qunut lagi.”
Maksud hadits tersebut adalah
Rasulallah tidak lagi melakukan qunut atau doa untuk orang kafir dan
melaknatnya, bukan meninggalkan semua qunut, yang artinya Rasulallah masih
tetap melakukan qunut biasa. Ta’wil ini dilakukan untuk mengumpulkan hadist di
atas dengan hadits riwayat Anas bahwa “Rasulallah selalu melakukan qunut Shubuh
sampai beliau wafat” yang juga shahih secara jelas, maka wajib adanya jam‘u
dalilain (pengumpulan dua dalil). Penta’wilan ini dikuatkan riwayat al-Baihaqi
dari Abdurrahman bin Mahdi, dia mengatakan: “Rasulallah meninggalkan doa
laknat.”
Lebih jelas lagi, sebagai penguat
ta’wil di atas adalah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah melakukan
qunut setelah rukuk dalam shalatnya selama sebulan, mendoakan seseorang
kemudian tidak melakukan doa lagi.
كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَدْعُوَ عَلَى
أَحَدٍ أَوْ يَدْعُوَ لِأَحَدٍ قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ
“Rasulallah ketika akan mendoakan
jelek kepada seseorang atau mendoakan baik untuk seseorang, maka beliau akan
qunut (berdoa) setelah rukuk.’”
KEDUA : Hadits riwayat dari Anas
dan dishahihkan Ibnu Khuzaimah.
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنَتُ إِلاَّ إِذَا
دَعَا الْقَوْمَ أَوْ دَعَا عَلَى قَوْمٍ
“Rasulallah tidak melakukan qunut kecuali apabila berdoa
kebaikan untuk kaum atau mendoakan jelek pada suatu kaum.”
Dengan hadits riwayat Ibnu
Khuzaimah dai Anas di atas, beberapa orang yang anti qunut Shubuh mendakwakan
bahwasannya hadits tentang qunut Shubuh bertentangan dengan hadits tersebut.
Pernyataan tersebut tidak benar, karena hadits tersebut berbicara tentang qunut
nazilah , bukan qunut Shubuh. Lantaran kata “yaqnutu” pada hadits tersebut
bermakna doa bukan bermakna qunut. Andai hadits tersebut berkaitan dengan qunut
Shubuh, tentu hadits ini menjadi dalil bagi Madzhab Hanafi dan Abu Yusuf
tentang tidak bolehnya melakukan qunut Shubuh, padahal dalil madzhab Hanafi dan
Abu Yusuf yang tidak mensyariatkan qunut Shubuh bukan berdasar hadits di atas.
Madzhab Hanafi, madzhab Ahmad bin
Hanbal dan Abu Yusuf mengambil dalil tentang tidak bolehnya mengamalkan qunut
Shubuh dengan hadits riwayat at-Tirmidzi dan lain-lain dari Sa’ad bin Thariq
berikut:
يَا أَبَتِ إِنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ
وَعَلِيٍّ أفَكَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْفَجْرِ فَقَالَ أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
“Wahai ayahku, engkau shalat di
belakang Rasulallah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan Ali, apakah mereka semua
melakukan qunut dalam shalat fajar ? Wahai anakku, itu adalah sesuatu yang baru.”
Menanggapi hadits ini, para ulama
yang menetapkan qunut Shubuh memberikan jawaban bahwa ucapan Thariq al-Asyja’i
tersebut adalah dalam kapasitas ijtihad shahabat karena tidak dinisbatkan sama
sekali (marfu’) pada Rasulullah.
mudah-mudahan kajian tersebut dapat menambah wawasan kita semua.
Dikutip dari PISS-KTB