Hal pertama yang
harus kita lakukan adalah memohon ampun kepada Alloh Swt.,dari segala dosa dan
kesalahan.
Hal kedua yang harus
kita lakukan adalah memohonkan Maghfiroh untuk leluhur kita baik yang
masih hidup ataupun sudah meninggal dunia dengan cara mengirimkan pahala bacaan
ayat-ayat suci al-qur’an. Leluhur yang sudah meninggal dikirimkan doa supaya
diampuni dosa-dosanya dan diterima seluruh amal kebaikannya. Dan leluhur yang
masih hidup kita doakan supaya kehidupannya diberi Kajembaran yang disebut
dalam Al-Qur’an Dzu Sa’atin (Berbahagia). Yang dimaksud dengan kajembaran
adalah luas pemikirannya, rizqinya serta luas hatinya. Orang yang rajin mendoakan leluhurnya, niscaya
akan didoakan oleh anak cucunya.
Hal ketiga yang harus
kita lakukan adalah mendoakan anak-anak kita. Mendoakan anak adalah hal yang
sangat penting, namun sekarang telah banyak yang melupakan hal itu. Banyak
orang tua mengira kalau anak hanya butuh makan, minum, sangu (bekal), dan
sekolah. Padahal, hal tersebut belumlah cukup. Karena anak-anak kita perlu doa
kita. Jika orang tua hendak mendoakan putra-putrinya, maka harus didoakan satu
persatu. Orang tua harus tau apa yang diperlukan oleh putra putrinya.
Alqur’an menyebutkan
anak dalam 4 (empat) kategori. Pertama, anak disebut sebagai Qurrota
A’yun, yang secara bahasa memiliki arti penenteram mata. Dalam Penafsiran
Bahasa, Qurrota A’yun mempunyai arti “air mata yang menetes dan terasa
dingin”. Maksud dari kalimat tersebut adalah air mata yang keluar karena
terharu atas kebahagiaan yang diberikan oleh anak kepada orang tuanya.
Sedangkan air mata yang keluar sebab kesedihan atau kesusahan akan terasa
panas. Anak dapat disebut dengan Qurrota A’yun jika sudah beres dunia
dan akhiratnya; beres kehidupannya; beres akhlaqnya kepada kedua orang tua;
beres prilakunya dengan lingkungan; beres pergaulannya. Anak yang disebut Qurrota
A’yun dapat pula disebut anak yang sempurna agamanya, sempurna
kehidupannya, sehingga ia akan mendapat kebaikan didunia dan kebaikan di
akhirat. Alqur’an Surat Alfurqon ayat 74 menyatakan
وَالَّذِينَ
يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ
أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Dan
orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
Menurut
Penjelasan M. Qurasih Shihab dalam Tafsir Misbah “mereka selalu memohon kepada Tuhan agar istri-istri dan
anak-anak mereka dijadikan sebagai penyenang hati karena kebaikan yang mereka
lakukan. Mereka juga berdoa agar dijadikan sebagai pemimpin dalam kebaikan yang
diikuti oleh orang-orang yang saleh”
Penjelasan lain dalam Tafsir
Ibnu Katsir menyebutkan:
{وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ}
Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami,
anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami).
(Al-Furqan: 74)
Mereka adalah orang-orang yang memohon kepada Allah
agar dikeluarkan dari sulbi mereka keturunan yang taat kepada Allah dan
menyembahNya semata, tanpa mempersekutukan-Nya.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa mereka ingin memperoleh
keturunan yang selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah sehingga hati mereka
menjadi sejuk melihat keturunannya dalam keadaan demikian, baik di dunia maupun
di akhirat.
Ikrimah mengatakan, mereka tidak bermaksud agar
beroleh keturunan yang tampan, tidak pula yang cantik, tetapi mereka
menginginkan keturunan yang taat.
Al-Hasan Al-Basri pernah ditanya tentang makna ayat
ini. Ia menjawab, "Makna yang dimaksud ialah bila Allah memperlihatkan
kepada seorang hamba yang muslim istri, saudara, dan kerabatnya yang taat-taat
kepada Allah. Demi Allah, tiada sesuatu pun yang lebih menyejukkan hati seorang
muslim daripada bila ia melihat anak, cucu, saudara, dan kerabatnya yang
taat-taat kepada Allah Swt."
Ibnu Juraij telah mengatakan sehubungan dengan
makna firman-Nya: anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74) Yakni
orang-orang yang menyembah-Mu dengan baik dan tidak menjerumuskan kami ke dalam
perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa
mereka memohon kepada Allah agar Dia memberikan petunjuk kepada istri-istri
mereka dan keturunan mereka untuk memeluk agama Islam.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada
kami Ma'mar ibnu Basyir, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak,
telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Amr, telah menceritakan kepadaku
Abdur Rahman ibnu Jubair ibnu Nafir, dari ayahnya yang mengatakan, "Pada
suatu hari kami duduk di majelis Al-Miqdad ibnul Aswad. Kemudian lewatlah
seorang lelaki yang mengatakan kepadanya, 'Beruntunglah kedua matanya yang
telah melihat Rasulullah Saw. Seandainya saja kami dapat melihat seperti apa
yang telah dilihat matanya dan menyaksikan apa yang telah disaksikannya.' Maka
Al-Miqdad marah sehingga membuat diriku terheran-heran, sebab lelaki tersebut
tidak mengucapkan kata-kata kecuali yang baik-baik. Kemudian Al-Miqdad
berpaling ke arah lelaki itu seraya berkata, 'Apakah gerangan yang membuat
lelaki itu mengharapkan hal yang digaibkan oleh Allah darinya? Dia tidak
mengetahui seandainya ditakdirkan dia menyaksikan masa itu (masa Nabi Saw.),
apa yang bakal dilakukannya. Demi Allah, sesungguhnya banyak kaum yang semasa
dengan Rasulullah Saw., tetapi Allah menyeret mereka ke dalam neraka Jahanam karena
mereka tidak menyambut seruannya dan tidak pula membenarkannya. Apakah kalian
tidak memuji kepada Allah karena Dia telah mengeluarkan kalian dari perut ibu
kalian dalam keadaan tidak mengetahui apa pun kecuali hanya Tuhan kalian seraya
percaya kepada apa yang disampaikan kepada kalian oleh nabi kalian;
sesungguhnya kalian telah ditolong dari musibah oleh selain kalian. Allah
mengutus Nabi-Nya di masa yang paling buruk yang pernah dialami oleh seseorang
nabi, yaitu di masa Jahiliah. Orang-orang di masa itu tidak melihat adanya
suatu agama yang lebih utama daripada agama yang menganjurkan menyembah
berhala. Lalu datanglah Nabi dengan membawa Al-Qur'an yang membedakan antara
perkara yang hak dan perkara yang batil, dan membedakan (hak) antara orang tua
dan anak. Seorang lelaki yang telah dibukakan hatinya untuk beriman pasti akan
yakin terhadap anaknya, orang tuanya, dan saudaranya yang masih kafir, bahwa
jika mati mereka pasti masuk neraka. Dan pasti tidak akan senang hatinya bila
mengetahui bahwa orang yang dikasihinya dimasukkan ke dalam neraka." Hal
inilah yang dimaksudkan oleh firman Allah Swt.: Dan orang-orang yang
berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami). (Al-Furqan: 74)
Sanad asar ini sahih, tetapi para
ahli sunan tidak ada yang mengetengahkannya.
Firman
Allah Swt.:
{وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا}
dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa. (Al-Furqan:
74)
Ibnu Abbas, Al-Hasan As-Saddi, Qatadah, dan Ar-Rabi'
ibnu Anas mengatakan bahwa yang dimaksud ialah para pemimpin yang mengikuti
kami dalam kebaikan.
Selain mereka mengatakan, yang dimaksud ialah para
pemberi petunjuk yang mendapat petunjuk dan para penyeru kebaikan; mereka
menginginkan agar ibadah mereka berhubungan dengan ibadah generasi penerus
mereka, yaitu anak cucu mereka. Mereka juga menginginkan agar hidayah yang
telah mereka peroleh menurun kepada selain mereka dengan membawa manfaat, yang
demikian itu lebih banyak pahalanya dan lebih baik akibatnya. Karena itulah
disebutkan di dalam Sahih Muslim melalui hadis Abu Hurairah
r.a. yang telah mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ
ثَلَاثٍ: وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ، أَوْ عَلَمٍ يَنْتَفِعُ بِهِ مَنْ
بَعْدَهُ، أَوْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ"
Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah
amalnya kecuali tiga perkara, yaitu anak saleh yang mendoakan (orang tua)nya, atau
ilmu yang bermanfaat sesudah dia tiada, atau sedekah jariyah.
Kedua,
Anak yang disebut dengan Ziinah (Perhiasan). Anak tipe ini adalah anak
yang dapat dibanggakan oleh kedua orang tuanya ketika di dunia saja, namun
kehidupan akhiratnya masih belum jelas. Anak yang sudah bisa membuat bangga
kedua orang tuanya termasuk dalam kategori Ziinah, entah itu memberikan
manfaat atau tidak.
الْمَالُ
وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ
عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.
Harta benda dan anak
merupakan keindahan dan kesenangan hidup kalian di dunia. Akan tetapi semuanya
tidak ada yang abadi, tidak ada yang langgeng, dan pada akhirnya akan musnah.
Kebaikan- kebaikan yang kekal adalah yang terbaik untuk kalian di sisi Allah.
Allah akan melipatgandakan pahalanya dan itulah sebaik-baik tempat menggantungkan
harapan bagi manusia
Ketiga,
Anak yang menjadi Ujian bagi orang tuanya (Fitnah), yaitu anak yang bisa
mendatangkan fitnah dalam keluarga. Pepatah jawa menyebutkan “Anak Polah, Bopo
Kepradah”, namun pepatah ini sekarang berlaku kebalikannya, “Bopo Polah, Anak
Kepradah”. Misalkan seorang Bapak yang menjadi Pejabat, kemudian melakukan
tindak pidana korupsi dan terjerat hukum hingga dipenjara selama 20 tahun, hal
ini akan berimbas kepada anak yang akan dikucilkan oleh teman-temannya, atau
anak akan mendapatkan tekanan batin atas perbuatan orang tuanya. Meskipun ada
kejadian yang demikian ini, namun lebih banyak anak yang menjadi fitnah bagi
orang tuanya.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ
فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan
ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan
sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.
Ketahuilah pula wahai orang-orang yang benar-benar beriman, bahwa
cobaan hidup itu di antaranya disebabkan oleh cinta yang berlebihan pada
anak-anak kalian. Maka, janganlah cinta pada anak dan harta benda itu melebihi
cinta kalian pada Allah, karena hal yang demikian itu akan merusak urusan
kalian. Dan ketahuilah bahwa pahala Allah jauh lebih besar daripada harta dunia
dan anak keturunan.
Keempat,
anak yang menjadi musuh (‘Aduwwun) bagi orang tuanya. Misalnya anak yang berani
melawan terhadap orang tua, bahkan pernah ada kejadian anak membunuh orang tua.
Jadi, anak tidak
cukup hanya dimodali dengan materi, sekalipun materi itu penting. Anak juga
tidak cukup jika hanya dimodali dengan ilmu, meskipun ilmu sangatlah penting.
Selain dari materi dan ilmu satu hal lagi yang tidak boleh kita lupakan yaitu
do’a. memohonkan ampunan untuk anak-anak kita, rutin mendoakan anak-anak supaya
menjadi Sakinah (tenteram).
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ
فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ
تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Hai
orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada
yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika
kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
dalam
surat ini disebutkan oleh firman-Nya:
{فَاحْذَرُوهُمْ}
maka berhati-hatilah kamu. (At-Taghabun: 14)
Menurut Ibnu Zaid, disebutkan bahwa maka
berhati-hatilah terhadap agamamu. Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna
ayat ini:
{إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ}
sesungguhnya di antara istri-istrimu dan
anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. (At-Taghabun: 14)
karena mendorong seseorang untuk memutuskan tali
persaudaraan atau berbuat suatu maksiat terhadap Tuhannya, karena cintanya
kepada istri dan anak-anaknya terpaksa ia menaatinya dan tidak kuasa
menolaknya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan
kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalaf
As-Saidalani, telah menceritakan kepada kami Al-Faryabi, telah menceritakan
kepada kami Israil, telah menceritakan kepada kami Sammak ibnu Harb, dari
Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang telah ditanya oleh seorang lelaki tentang makna
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara
istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka
berhati-hatilah kamu terhadap mereka. (At-Taghabun: 14) Bahwa ada
sejumlah lelaki yang telah masuk Islam di Mekah; ketika mereka hendak bergabung
dengan Rasulullah Saw. di negeri hijrah, maka istri-istri dan anak-anak mereka
tidak mau ditinggalkan. Pada akhirnya setelah mereka datang kepada Rasulullah
Saw. (sesudah penaklukan Mekah), mereka melihat orang-orang telah mendalami
agama mereka. Kemudian mereka melampiaskan kemarahannya kepada istri-istri dan
anak-anak mereka yang menghalang-halangi mereka untuk hijrah. Dan ketika mereka
hendak menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, Allah menurunkan
firman-Nya: dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta
mengampuni (mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi,
dari Muhammad ibnu Yahya Al-Faryabi alias Muhammad ibnu Yusuf dengan sanad yang
sama. Hasan mengatakan bahwa hadis ini sahih. Ibnu Jarir
danTabrani meriwayatkan hadis ini melalui Israil dengan sanad yang sama. Telah
diriwayatkan pula melalui jalur Al-Aufi, dari Ibnu Abbas hal yang semisal, dan
hal yang sama dikatakan pula oleh Ikrimah (bekas budak Ibnu Abbas)
Sumber: Mutiara
Hikmah Abah Hasyim Muzadi.
2 komentar
Artikelnya bagus banget. ...
http://hpr0.blogspot.com/2018/03/bisnis-ayam-potong-online-ekonomi-anda.html
terima kasih sudah mampir ke gubuk derita...
aku juga akn datang kerumah mu..
EmoticonEmoticon