Rebo Wekasan |
Rebo wekasan akhir Bulan shafar, Hukum dan Amaliyah pada Rebo Wekasan
Rebo wekasan, atau Rabu terakhir
dibulan Shafar adalah sebuah tradisi ritual yang selalu dilakukan oleh mayoritas
masyarakat islam bersuku jawa, sunda, madura dll. Ritual ini dilaksanakan
setiap pada hari rabu terakhir bulan Shafar dengan melakukan berbagai macam
aura, bacaan dan beberapa sholat sunnah. Rebo wekasan sudah berlangsung sejak
turun temurun dai masa ke masa. Biasanya Ritual Rebo wekasan dilaksanakan di masjid
secara berjamaah yang di imami oleh satu orang.
Menurut sejarah yang berkembang
dikalangan masyarakat, Asal-usul tradisi Rebo wekasan bermula dari anjuran
Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (w.1151 H) dalam kitab “Fathul Malik Al-Majid
Al-Mu-Allaf Li Naf’il ‘Abid Wa Qam’i Kulli Jabbar ‘Anid (biasa disebut:
Mujarrobat ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab: ”Al-Jawahir
Al-Khams” karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H),
Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.
Lalu bagaimana Pandangan Islam
Tentang Ritual Rebo Wekasan?
Dalam menyikapi hal ini perlu
ditinjau dari beberapa sudut pandang, memang ada sebuah hadist namun berstatus
Dla’if. Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan
adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn
Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad
bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai
al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Selain dla’if, hadits ini juga
tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya
bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).
Muktamar NU yang ketiga, menjawab
pertanyaan “bolehkah berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga atau
hari keempat pada tiap-tiap bulan, sebagaimana tercantum dalam kitab Lathaiful
Akbar” memilih pendapat yang tidak mempercayai hari naas dengan mengutip
pandangan Syekh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah berikut
ini:
“Barangsiapa bertanya tentang
hari sial dan sebagainya untuk diikuti bukan untuk ditinggalkan dan memilih apa
yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu merupakan
perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal kepada
Sang Maha Penciptanya, tidak berdasarkan hitung-hitungan dan terhadap Tuhannya
selalu bertawakal. Dan apa yang dikutip tentang hari-hari nestapa dari sahabat
Ali kw. Adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka
berhati-hatilah dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Mungkin ada pertanyaan, bagaimana
dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya:’’Kaum ‘Aad pun mendustakan (pula).
Maka alangkah dahsyatnya azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku, Sesungguhnya Kami
telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas
yang terus menerus. yang menggelimpangkan manusia seakan-akan mereka pokok
korma yang tumbang” (Q.S al-Qamar (54:18-20).
Imam al-Bagawi dalam tafsir
Ma’alim al-Tanzil menceritakan, bahwa kejadian itu (fi yawmi nahsin
mustammir) tepat pada hari Rabu terakhir
bulan Shafar. Orang Jawa pada umumnya menyebut Rabu itu dengan istilah Rabu
Wekasan. Hemat penulis, penafsiran ini hanya menunjukkan bahwa kejadian itu
bertepatan dengan Rabu pada Shafar dan tidak menunjukkan bahwa hari itu adalah
kesialan yang terus menerus.
Istilah hari naas yang terus
menerus atau yawmi nahsin mustammir juga terdapat dalam hadis nabi. Tersebut
dalam Faidh al-Qadir, juz 1, hal. 45, Rasulullah bersabda, “Akhiru Arbi’ai fi
al-syahri yawmu nahsin mustammir (Rabu terakhir setiap bulan adalah hari sial
terus).”
Hadits ini lahirnya bertentangan
dengan hadits sahih riwayat Imam al-Bukhari sebagaimana disebut di atas. Jika
dikompromikan pun maknanya adalah bahwa kesialan yang terus menerus itu hanya
berlaku bagi yang mempercayai. Bukankah hari-hari itu pada dasarnya netral,
mengandung kemungkinan baik dan jelek sesuai dengan ikhtiar perilaku manusia
dan ditakdirkan Allah.
Oleh sebab itu hari tersebut menjadi
hari yang terberat di sepanjang tahun. Maka barangsiapa yang melakukan shalat 4
rakaat (nawafil, sunnah), di mana setiap rakaat setelah al-Fatihah dibaca surat
al-Kautsar 17 kali lalu surat al-Ikhlash 5 kali, surat al-Falaq dan surat
an-Naas masing-masing sekali; lalu setelah salam membaca do’a, maka Allah dengan kemurahan-Nya akan menjag a orang yang
bersangkutan dari semua bala bencana yang turun di hari itu sampai sempurna
setahun.
Mengenai amalan-amalan tersebut
di atas, mengutip KH. Abdul Kholik Mustaqim, Pengasuh Pesantren al-Wardiyah
Tambakberas Jombang, para ulama yang menolak adanya bulan sial dan hari nahas
Rebo Wekasan berpendapat (dikutip dengan penyesuaian):
Pertama, tidak ada nash hadits
khusus untuk akhir Rabu bulan Shofar, yang ada hanya nash hadits dla’if yang
menjelaskan bahwa setiap hari Rabu terakhir dari setiap bulan adalah hari naas
atau sial yang terus menerus, dan hadits dla’if ini tidak bisa dibuat pijakan
kepercayaan.
Kedua, tidak ada anjuran ibadah
khusus dari syara’.Ada anjuran dari sebagian ulama’ tasawwuf namun landasannya
belum bisa dikategorikan hujjah secara syar’i.
Ketiga, tidak boleh, kecuali
hanya sebatas sholat hajat lidaf’ilbala’almakhuf (untuk menolak balak yang
dihawatirkan) atau nafilah mutlaqoh (sholat sunah mutlak) sebagaimana
diperbolehkan oleh Syara’, karena hikmahnya adalah agar kita bisa semakin
mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Mengutip pandangan KH Miftakhul
Akhyar tentang hadits kesialan terus menerus pada Rabu terakhir tiap bulan,
dinyatakan:
“Naas yang dimaksud adalah bagi
mereka yang meyakininya, bagi yang mempercayainya, tetapi bagi orang-orang yang
beriman meyakini bahwa setiap waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada
mafsadah, ada guna dan ada madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang,
tetapi juga bisa juga naas bagi orang lain…artinya hadits ini jangan dianggap
sebagai suatu pedoman, bahwa setiap Rabu akhir bulan adalah hari naas yang
harus kita hindari. Karena ternyata pada hari itu, ada yang beruntung, ada juga
yang buntung. Tinggal kita berikhtiar meyakini, bahwa semua itu adalah anugerah
Allah.” Wallahu ‘A’lam.
Hukum meyakini datangnya
malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan oleh hadits shahih riwayat
Imam Bukhari dan Muslim:
“Dari Abu
Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada penyakit menular. Tidak ada
kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa
orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Menurut al-Hafizh Ibn Rajab
al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang
brekembang di masa Jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: “Maksud hadits di atas,
orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW
membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad
bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini
yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan
Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya
sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang
dilarang.” (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).
Hadis ini secara implisit juga
menegaskan bahwa Bulan Shafar sama seperti bulan-bulan lainnya. Bulan tidak
memiliki kehendak sendiri. Ia berjalan sesuai dengan kehendak Allah Swt.
Muktamar NU ke-3 juga pernah
menjawab tentang hukum berkeyakinan terhadap hari naas, misalnya hari ketiga
atau hari keempat pada tiap-tiap bulan. Para Muktamirin mengutip pendapat Ibnu
Hajar al-Haitami dalam Al-Fatawa al-Haditsiyah sbb: “Barangsiapa bertanya
tentang hari sial dan sebagainya untuk diikuti, bukan untuk ditinggalkan dan
memilih apa yang harus dikerjakan serta mengetahui keburukannya, semua itu
merupakan perilaku orang Yahudi dan bukan petunjuk orang Islam yang bertawakal
kepada Sang Maha Pencipta. Apa yang dikutip tentang hari-hari naas dari sahabat
Ali kw. adalah batil dan dusta serta tidak ada dasarnya sama sekali, maka berhati-hatilah
dari semua itu” (Ahkamul Fuqaha’, 2010: 54).
Bagaimana Hukum Shalat Rebo
Wekasan?
Shalat Rebo Wekasan (sebagaimana
anjuran sebagian ulama di atas), jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara
khusus, maka hukumnya tidak boleh, karena Syariat Islam tidak pernah mengenal
shalat bernama “Rebo Wekasan”. Tapi jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq
atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja. Shalat sunnah mutlaq adalah
shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak
terbatas. Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki
keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf’il makhuf (menolak hal-hal
yang dikhawatirkan).
Syeikh Abdul Hamid Muhammad Ali
Qudus (imam masjidil haram) dalam kitab Kanzun Najah Was Surur halaman 33
menulis: “Syeikh Zainuddin murid Imam Ibnu Hajar Al-Makki berkata dalam kitab
“Irsyadul Ibad”, demikian juga para ulama madzhab lain, mengatakan: Termasuk
bid’ah tercela yang pelakunya dianggap berdosa dan penguasa wajib melarang
pelakunya, yaitu Shalat Ragha’ib 12 rakaat yang dilaksanakan antara Maghrib dan
Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab…….. Kami (Syeikh Abdul Hamid)
berpendapat : Sama dengan shalat tersebut (termasuk bid’ah tercela) yaitu
Shalat Bulan Shafar. Seseorang yang akan shalat pada salah satu waktu tersebut,
berniatlah melakukan shalat sunnat mutlaq secara sendiri-sendiri tanpa ada
ketentuan bilangan, yakni tidak terkait dengan waktu, sebab, atau hitungan
rakaat.”
Keputusan musyawarah NU Jawa
Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rebo Wekasan
hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat
hajat. Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (Tanggal 20-25 Desember 1971 M)
juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat
mutlaq. (Referensi: Tuhfah al-Muhtaj Juz VII, Hal 317).
HUKUM BERDOA
Berdoa untuk menolak-balak
(malapetaka) pada hari Rabu Wekasan hukumnya boleh, tapi harus diniati berdoa
memohon perlindungan dari malapetaka secara umum (tidak hanya malapetaka Rabu
Wekasan saja). Al-Hafidz Zainuddin Ibn Rajab al-Hanbali menyatakan: “Meneliti
sebab-sebab bencana seperti melihat perbintangan dan semacamnya merupakan
thiyarah yang terlarang. Karena orang-orang yang meneliti biasanya tidak
menyibukkan diri dengan amal-amal baik sebagai penolak balak, melainkan justru
memerintahkan agar tidak keluar rumah dan tidak bekerja. Padahal itu jelas
tidak mencegah terjadinya keputusan dan ketentuan Allah. Ada lagi yang
menyibukkan diri dengan perbuatan maksiat, padahal itu dapat mendorong
terjadinya malapetaka. Syari’at mengajarkan agar (kita) tidak perlu meneliti
melainkan menyibukkan diri dengan amal-amal yang dapat menolak balak, seperti
berdoa, berzikir, bersedekah, dan bertawakal kepada Allah Swt serta beriman pada
qadla’ dan qadar-Nya.” (Ibn Rajab, Lathaif al-Ma’arif, hal. 143).
KESIMPULAN
Tradisi Rebo Wekasan memang bukan
bagian dari Syariat Islam, akan tetapi merupakan tradisi yang positif karena
(1) menganjurkan shalat dan doa; (2) menganjurkan banyak bersedekah; (3) menghormati
para wali yang mukasyafah (QS. Yunus : 62). Karena itu, hukum ibadahnya sangat
bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya
sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi
penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumya haram.
Bagi yang meyakini silahkan
mengerjakan tapi harus sesuai aturan syariat dan tidak perlu mengajak siapapun.
Bagi yang tidak meyakini tidak perlu mencela atau mencaci-maki.
Mengenai indikasi adanya kesialan
pada akhir bulan Shafar, seperti peristiwa angin topan yang memusnahkan Kaum
‘Aad (QS. Al-Qamar: 18-20), maka itu hanya satu peristiwa saja dan tidak
terjadi terus-menerus. Karena banyak peristiwa baik yang juga terjadi pada Rabu
terakhir Bulan Shafar, seperti penemuan air Zamzam di Masjidil Haram, penemuan
sumber air oleh Sunan Giri di Gresik, dll.
Kemudian, betapa banyak orang
yang selamat (tidak tertimpa musibah) pada Hari Rabu terakhir bulan Shafar,
meskipun mereka tidak shalat Rebo Wekasan. Sebaliknya, betapa banyak musibah
yang justru terjadi pada hari Kamis, Jum’at, Sabtu, dll (selain Rabu Wekasan)
dan juga pada bulan-bulan selain Bulan Shafar. Hal ini menunjukkan bahwa
terjadinya musibah atau malapetaka adalah urusan Allah, yang tentu saja berkorelasi
dengan sebab-sebab yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Mengenai cuaca ekstrim yang
terjadi di bulan ini (Shafar), maka itu adalah siklus tahunan. Itu adalah
fenomena alam yang bersifat alamiah (Sunnatullah) dan terjadi setiap tahun
selama satu bulanan (bukan hanya terjadi pada Hari Rabu Wekasan saja). Intinya,
sebuah hari bernama “Rebo Wekasan” tidak akan mampu membuat bencana apapun
tanpa seizin Allah Swt. Wallahu a’lam.
EmoticonEmoticon