A. Ilmu Mukhtalaf
Al-Hadis}
Dalam kaidah bahasa Mukhtalaf Al-Hadis} adalah susunan dua kata benda
(isim) yakni Mukhtalaf dan Al-Hadis}. Mukhtalaf sendiri adalah isim maf’ul dari
kata ikhtalafa yang berarti perselisihan dua hal atau ketidaksesuaian dua hal,
secara umum apabila ada dua hal yang bertentangan, hal tersebut bisa dikatakan
mukhtalaf atau ikhtilaf.
Sedangkan dalam istilah ahli hadis}, Mukhtalif Al-Hadis (dengan dibaca
kasroh lam’)} adalah hadis yang - secara dhohir - tampak saling bertentangan
dengan hadis} lain. dan dengan dibaca fathah lam’nya adalah dua hadis} yang
secara makna saling bertentangan. dari dua definisi diatas bisa disimpulkan
bahwa Mukhtalif Al-Hadis adalah adalah esensi hadis} itu sendiri, sedangkan
Mukhtlaf Al-Hadis adalah pertentangannya.
Secara umum dan mudah, Muhktalaf Al-Hadis} adalah upaya ‘ulama untuk
mengkompromikan hadis}-hadis} yang tampak saling bertentangan maknanya
berlandaskan pada kaidah-kaidah yang telah disepakati dan ditentukan oleh para
pakar dibidangnya. dan secara term ilmiah bisa penulis simpulkan bahwa
Muhktalaf Al-Hadis} adalah ilmu yang berisi tentang kaidah-kaidah dalam
mengkompromikan hadis}-hadis} yang secara dhohir tampak bertentangan.
B. Urgensi Memahami Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis}
Bahwasanya memahami hadis} Nabi SAW. dengan pemahaman yang sehat, kuat, dan
jernih serta dalam, dan juga melakukan istinbat hukum dari hadis} tersebut
secara benar dan sah tidak bisa terlaksana dengan sempurna kecuali didukung
dengan pengetahuan tentang Mukhtalaf Al-Hadi>s}, sehingga mau tidak mau
(willy or not) bagi seorang ilmuan (‘ulama) yang berkecimpung dalam bidang
tersebut memahami Mukhtalaf Al-Hadis} merupakan sebuah keniscayaan.
Saking pentingnya memahami Muhktalaf Al-Hadis}, para ‘ulama bervariasi
dalam memposisikan (Makanah) Ilmu Muhktalaf Al-Hadis}.
Diantara mereka adalah
Ibnu Hazm Al-Dha>hiri, berikut statmennya :
"وهذا من أدق ما يمكن أن
يعترض أهل العلم من تأليف النصوص وأغمضه وأصعبه"
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah
Ilmu Muhktalaf Al-Hadis) merupakan salah satu disiplin ilmu yang sulit, rumit
bagi seorang ilmuan (Ahl Al-‘Ilm) dalam merumuskan atau menjabarkan nash-nash
hadis}”
Dan Imam Abu Zakariya
Al-Nawawi mengatakan dengan ungkapan :
" هذا فنٌ من أهمِّ الأنواع،
ويضطرُّ إلى معرفته جميع العلماء من الطوائف "
Artinya (kurang lebih) :
“dan ini (maksudnya adalah
Ilmu Mukhtalaf Al-Hadis) merupakan salah satu fan ilmu terpenting. dan semua
‘ulama dari segala kelompok mutlak membutuhkan pengetahuan tentang ilmu ini.”
Terkait urgensi Ilmu
Mukhtalaf Al-Hadits Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
" فإن تعارض دلالات الأقوال
وترجيح بعضها على بعض بحر خضم"
Artinya (kurang lebih):
“sesungguhnya pertentangan
(secara dhahir) antara beberapa petunjuk dalil dan melakukan tarjih pada
sebagian dalil tersebut merupakan samudera yang sangat luas (artinya sangat
luas dan rumit)”
C. Memahami dan Menyikapi
Petunjuk Hadis} yang Tampak Bertentangan
Sebenarnya para ‘ulama mulai berabad-abad tahun yang lalu telah mencurahkan
perhatian dalam memahami hadis} Nabi SAW. secara mendalam dan teliti, disamping
itu mereka juga berusaha keras untuk menhindari dan mencegah asumsi tentang
pertentangan antara hadis} satu dengan lain, hal ini berimplikasi pada para
ilmuan setelahnya dalam memperlakukan teks-teks hadis} nabi sebagai istidlal
hukum,
Upaya ‘ulama tersebut juga memberikan tarbiyah atau ajaran dan pemahaman
tentang penyucian terhadap wahyu Allah SWT. baik yang berupa Al-Qur’an maupun
Al-Hadis}, sehingga tidak akan mungkin terjadi pertentangan. dalam rangka
menepis anggapan tersebut para ‘ulama berupaya (ijtihad) untuk melakukan
kompromi (Al-Jam’u wa Al-Taufiq) antara dalil yang bertentangan secara dhohir,
ini sekali lagi dilandasi keyakinan bahwa bagaimanapun juga tidak mungkin ada
ta’arudh antara teks-teks wahyu.
Terkait hal ini Ibnu
Al-Qayyim memiliki ungkapan yang indah, berikut statmennya:
"فصلوات الله وسلامه على من
يصدّق كلامه بعضه بعضاً، ويشهد بعضه لبعض ، فالاختلاف والإشكال والاشتباه إنما هو
في الأفهام ، لا فيما خرج من بين شفتيه من الكلام ، والواجب على كل مؤمن أن يَكِلَ
ما أشكل عليه إلى أصدق قائل ، ويعلم أن فوق كل ذي علم عليم"
Artinya (kurang lebih):
“semoga shalawat dan salam
tercurahkan kepada Nabi yang umgkapannya membenarkan ungkapan yang lain, yang
ungkapannya mengakui ungkapan yang lain, maka apabila ada ikhtilaf, isykal, dan
isytibah itu merupakan dalam ranah pemahaman manusia yang lemah, bukan
merupakan hakikat dari ucapan keluar dari kedua bibirnya, maka menjadi
kewajiban bagi setiap mukmin untuk mengembalikan apa yang ia anggap musykil
kepada ungkapan yang paling mendekati kebenaran (tarjih), dan agar setiap orang
mukmin tahu bahwa diatas orang yang berilmu ada orang yang lebih alim ”
D. Tampaknya Pertentangan
diantara Petunjuk Hadis} Nabi SAW.
1. Pertentangan secara
Hakiki
Pertentangan secara hakiki
adalah ketidaksesuaian yang sangat jelas antara dua dalil yang sama derajatnya
dan pada satu masa, dan hal ini mutahil terjadi pada hadis} Nabi SAW., karena
kesemuanya itu merupakan wahyu dari Allah swt. Sesuai dengan ayat dalam surat
An-Najm 3-4:
وما ينطق عن الهوى (3) إن هو إلا وحي يوحى (4)
Artinya :
“3. Dan tiadalah yang
diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.4.Ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”
wahyu adalah sebuah
kebenaran mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, karena itu murni dari Allah
SWT.
hal ini telah dijelaskn
oleh Allah SWT dalam surat An-Nisa’ayat 82:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ وَلَوْ كَانَ مِنْ
عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا (82)
Artinya :
“kalau kiranya Al-Quran
itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di
dalamnya.”
Imam Ibnu Al-Qayyim
mengatakan :
"وأما حديثان صحيحان صريحان
متناقضان من كل وجه ليس أحدهما ناسخاً للآخر فهذا لا يوجد أصلاً ، ومعاذ الله أن
يوجد في كلام الصادق المصدوق - صلى الله عليه وسلم - الذي لا يخرج من بين شفتيه
إلا الحق"
Artinya (kurang lebih):
“adapun kejadian ada dua
hadis} shahih yang sama-sama shari>h seakan –akan saling bertentangan dari
segala sisi serta tidak ditemukan adanya unsur Nasikh Mansukh, maka yang
seperti ini tidak ada sama sekali, -aku berlindung kepada Allah- seumpama ada
ucapan yang keluar dari kedua bibir Nabi Muhammad SAW. yang Al-Sha>diq
Al-Masdhuq”
2. Pertentangan Secara
Dhahir
Adalah Al-Wahmu atau pemahaman, prasangka, indikasi dalam hati seseorang
secara panca indera, akan tetapi tidak terjadi dalam kenyataan. Mengenai hal
ini Imam Ibnu Al-Qayyim menjelaskan beberapa sebab terjadinya penampakan sebuah
pertentangan petunjuk hadis} Nabi SAW. ia mengatakan : sebenarnya tidak ada pertentangan
antara hadis} shahih, apabila ada indikasi tersebut, maka ini tidak bisa lepas
dari 3 kemungkinan:
Pertama : ada kemungkinan salah satu dari dua hadis} tersebut adalah bukan
hadis} sebenarnya hadis} asli dari Nabi SAW. dikarenakan adanya kecacatan dari
salah satu rawi meskipun dia diklaim sebagai seorang s}iqah.
Kedua : ada kemungkinan hadis} yang satu merupakan Nasikh terhadap hadis
lainnya ketika memang hal tersebut dimungkinkan.
Ketiga : pertentangan tersebut sebenarnya terjadi pada pemahaman seorang
peneliti, bukan pada esensi hadis} Nabi SAW. hal ini terjadi karena
kecerobohan, kelalaian, dan kelemahannya dalam memahami dalil, kedangkalan
ilmunya dalam membedakan antara dalil yang shahih dan yang ma’lu>l, sehingga
ia menerapkan suatu dalil bukan pada madlul-nya yang sebenarnya.
E. Toeri Penyelesaian
Pertentangan Petunjuk Hadis} Nabi SAW.
Menurut pendapat ‘ulama jumhur teori penyesaian pertentangan petunjuk
hadis} Nabi SAW. adalah dengan menggunakan beberapan hal berikut :
1. Memakai teori Al-Jam’u baina Al-Hadi>s}aini atau menkompromikan kedua
hadis} tersebut, hal ini dikarenakan diantara dua hadis} tidak bisa lepas dari
kemungkinan antara ke-umuman dan ke-khususan, mut}laq dan muqayyad, serta
mujmal dan mubayyan. Ini berlandaskan dengan kaidah yang sudah ditetapkan oleh
‘ulama bahwa I’ma>l Al Kalam Aula Min Ihma>lihi atau menerapkan
ungakapan/dalil lebih utama daripada membiarkannya.
2. Memakai teori Al-Naskhu atau menggugurkan dalil satu dengan dalil lain,
hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan teori Al-Jam’u, teknisnya adalah
dengan menulusuri waktu munculnya (Wuru>d Al-Hadis}) agar diketahui hadis}
mana yang lebih dahulu dan mana yang lebih akhir, maka kemudian yang akhir
dianggap telah merusak/menghapus (Al-Na>sikh) terhadap hadis} yang pertama.
3. Memakai teori Al-Tarjih. hal ini dilakukan ketika dua teori diatas tidak
memungkinkan, yakni dengan menguatkan satu diantara dua hadis} tersebut dengan
memandang sudut pandang masing-masing kekuatan dari dalil, bukan semata-mata
hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Mengenai hal ini Imam Syafi’i memberikan arahan dan penjelasan : termasuk
dari menggunakan teori Al-Tarjih adalah bahwasanya diantara kedua hadis}
tersebut tidak bisa lepas dari kemungkinan paling mendekati pada Al-Qur’an,
atau paling mendekati dengan sunah-sunah Nabi SAW>., selain dua hadis} yang
mukhtalaf tersebut, atau lebih mendekati pada Qiyas, maka menurutku hadis}
itulah yang saya menangkan.
4. Memakai teori Al-Tawaqquf. Teori ini digunakan apabila ketiga cara
diatas sudah tidak memungkinkan, teori ini berlaku sampai ditemukan dalil lain
yang mendukung. Dalam konteks ini Imam Al-Sya>tibi berpendapat bahwa
ma-mauquf-kan keputusan ketika tidak dimungkinkan tarjih adalah menjadi hukum
wajib. Senada dengan Imam Al Syati>bi adalah Imam Al-Sakhowi >, ia
mengatakan bahwa melakukan tawaqquf lebih utama daripada melakukan pengguguran
(tasaqquth) dalil, karena kesamaran pemahaman terhadap dalil itu terjadi pada
seseorang pada waktu saat itu, padahal ada kemungkinan hal tersebut tidak samar
lagi bagi seseorang lain, karena diatas orang ‘alim ada orang yang lebih alim.
F. Contoh Hadits Yang Tampak Bertentangan
Berikut penulis paparkan contoh hadis} Nabi SAW. yang tampak bertentangan
antara satu dengan yang lain, namun bisa dikompromikan sehingga pertentangan
itu bisa disikapi.
Dalam hadis} riwayat yang di takhrij oleh Abu Dawud nomor indeks 203,
Rasulullah SAW. bersabda yang artinya : “barang siapa tidur, maka hendaklah ia
wudhu’…!”. Sedangkan dalam hadis} yang di takhrij oleh Muslim nomor indeks
376., riwayat Anas bin Malik (ia berkata) : “suatu ketika iqamat (shalat) telah
dikumandangkan, namun pada waktu itu Nabi SAW. masih bercakap-cakap dengan
seorang laki-laki sampai waktu yang cukup lama sehingga para shahabat
(ter)tidur, kemudian Nabi SAW. datang dan shalat bersama mereka”. dan pada
redaksi yang lain dengan riwayat yang sama (Anas berkata): “para shahabat
Rasulullah SAW. (pernah) tidur, kemudian mereka melakukan shalat dan mereka
tidak melakukan wudhu’.”
Dari dua hadis} diatas nampak ketidaksingkronan, disatu sisi ada perintah
wudhu’ dari Rasulullah SAW., pada orang yang yang tidur, dan disisi lain para
sahabat (ter)tidur kemudian melakukan shalat bersama Nabi SAW. akhirnya para
‘ulama mengkompromikan kedua hadis} diatas, yakni hadits yang pertama diarahkan
pada orang yang tidur dalam posisi ghairu mutamakkinin maq’adahu (tidak
menetapkan pantatnya kebumi/lantai), sedangkan hadis} kedua diarahkan pada
tidur dengan posisi mutamakkinin maq’adahu (menetapkan pantatnya kelantai).
Landasan pemikiran diatas adalah bahwa para shahabat pada waktu itu sedang
duduk dengan menetapkan pantat kelantai, karena mereka berada dimasjid menunggu
shalat jama’ah, dan berkeyakinan bahwa Nabi SAW. akan datang dengan tiba-tiba
dan melakukan shalat dengan mereka. Sehingga dalam rumusan fiqih syafi’i tidur
dengan posisi mutamakkinin maq’adahu tidak membatalkan wudhu’
EmoticonEmoticon