Wednesday 15 March 2017

UWAIS ALQORNI LANJUTAN

Tags


Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, dagunya menempel di dada selalu melihat pada tempat sujudnya, tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya, ahli membaca Al-Quran dan menangis, pakaiannya hanya dua helai sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya untuk selendangan, tiada orang yang menghiraukan, tak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit.
Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tak punya sanak famili kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa. Untuk mencukupi kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk sekedar menopang kesehariannya bersama Sang ibu, bila ada kelebihan, ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak memengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
Dia tidak sempat melihat Rasulullah SAW semasa hidupnya. Hidupnya dan ibunya sungguh amat sangat sederhana. Pakaian yang dimilikinya cuma yang melekat di tubuhnya. Setiap hari dia lalui dengan berlapar-lapar. Dia hanya makan buah kurma dan minum air putih. Tidak pernah dia memakan makanan yang dimasak atau diolah. Jika mendapatkan rezeki lebih, lelaki yang matanya mudah meneteskan airmata ini tak segan-segan membagikannya kepada beberapa tetangganya yang serba kekurangan. Dia tidak menampakkan kesusahan maupun kesenangannya kepada orang lain.
Dia lahir di tengah keluarga miskin di sebuah desa terpencil di dekat Nejed, Yaman. Tidak ada yang mendokumentasikan hari kelahirannya. Ayah dan Ibunya yang taat beribadah, tidak mampu menyekolahkannya. Alhasil, dia mendapat pelajaran seadanya dari orang tua yang sangat dicintai dan ditaatinya. Ayahnya meninggal dunia ketika dia kecil. Sementara Ibunya sudah tua renta dan lumpuh. Penglihatannya pun kabur. Dia tak punya sanak keluarga. Dalam kehidupan keseharian, dia lebih banyak menyendiri dan diam. Dia lebih senang membantu meringankan beban orang tuanya dengan cara bekerja sebagai penggembala dan pemelihara ternak upahan. Pergaulannya hanya dengan sesama penggembala di sekitarnya.
Sejak kecil sudah memeluk agama Islam. Siang hari dia bekerja keras sambil terus berpuasa, malamnya shalat dan bermunajat kepada Allah SWT untuk mendoakan orang lain. Hati dan lisannya tidak pernah lengah dari berzikir dan membaca Al-Quran selama beraktivitas. Dia juga selalu merawat dan memperhatikan keadaan Ibunya. Namun, terkadang dia merasakan kesedihan ketika tetangganya bisa pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sementara dia belum mampu karena berbagai kendala. Dia sekadar mendengarkan cerita-cerita tentang Rasulullah. Ternyata hal itu kian menumbuhkan kecintaan dan kerinduannya untuk bertemu Rasulullah.
Dia adalah “Uwais al-Qarni”. Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad SAW. yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tak ada sekutu bagi-Nya. Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur.
Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya sangat menarik hati Uwais, sehingga setelah seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, karena selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran. Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbarui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.
Alangkah sedihnya hati Uwais setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah “bertamu dan bertemu” dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang ia sendiri belum. Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih, tapi apalah daya ia tak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah, dan yang lebih ia beratkan adalah sang ibu yang jika ia pergi, tak ada yang merawatnya.
Di ceritakan ketika terjadi Pertempuran Uhud Rasulullah SAW mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Kabar ini akhirnya terdengar oleh Uwais. Ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada beliau SAW, sekalipun ia belum pernah melihatnya. Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tak terbendung membuat hasrat untuk bertemu tak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, kapankah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dari dekat?
Tapi, bukankah ia mempunyai ibu yang sangat membutuhkan perawatannya dan tak tega ditinggalkan sendiri, hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa. Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi SAW di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya.
Beliau memaklumi perasaan Uwais, dan berkata, “Pergilah wahai anakku! temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang”. Dengan rasa gembira ia berkemas untuk berangkat dan tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi.
Sesudah berpamitan sambil menciumi sang ibu, berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak kurang lebih empat ratus kilometer dari Yaman. Medan yang begitu ganas dilaluinya, tak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari, semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi SAW yang selama ini dirindukannya. Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi SAW, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Sayyidah Fathimah binti Muhammad SAW, sambil menjawab salam Uwais.
Segera saja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata beliau SAW tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi SAW dari medan perang.
Tapi, kapankah beliau pulang? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman,”Engkau harus lekas pulang.” Karena ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi SAW. Ia akhirnya dengan terpaksa mohon pamit kepada Sayyidah Fathimah untuk segera pulang ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi SAW dan melangkah pulang dengan perasaan haru.
Sepulangnya dari perang, Nabi SAW langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah SAW, Sayyidatina Fathimah dan para sahabatnya tertegun. Menurut informasi Sayyidah Fathimah, memang benar ada yang mencari Nabi SAW dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.
Rasulullah SAW bersabda : “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya.” Sesudah itu beliau SAW, memandang kepada Imam Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab dan bersabda,“Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi.“
Tahun terus berjalan, dan tak lama kemudian Nabi SAW wafat, hingga kekhalifahan Abu Bakar telah diestafetkan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi SAW. tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Ia segera mengingatkan kepada Imam Ali Kw untuk mencarinya bersama. Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, beliau berdua selalu menanyakan tentang Uwais al-Qarni, apakah ia turut bersama mereka.
Di antara kafilah-kafilah itu ada yang merasa heran, apakah sebenarnya yang terjadi sampai-sampai ia dicari oleh beliau berdua. Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka.
Suatu ketika, Uwais al-Qarni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar bin Khattab dan Imam Ali kw mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar bin Khattab dan Imam Ali kw memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan salat. Setelah mengakhiri salatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh Nabi SAW. Memang benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, siapakah nama saudara? “Abdullah”, jawab Uwais.
Mendengar jawaban itu, kedua sahabatpun tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Imam Ali memohon agar Uwais berkenan mendoakan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah, “Sayalah yang harus meminta doa kepada kalian.“ Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata, “Kami datang ke sini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.“
Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qarni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menolak dengan halus dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.“
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam tak terdengar beritanya. Tapi ada seorang lelaki pernah bertemu dan ditolong oleh Uwais, waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin topan berhembus dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghantam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya. Lelaki itu keluar dari kapal dan melakukan shalat di atas air.
Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. “Wahai waliyullah, tolonglah kami!” tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi, “Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!” Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata,
“Apa yang terjadi ?”
“Tidakkah engkau melihat bahwa kapal dihembus angin dan dihantam ombak?” tanya kami.
“Dekatkanlah diri kalian pada Allah!” katanya.
“Kami telah melakukannya.”
“Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrahmaanirrahiim!”
Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami berikut isinya tenggelam ke dasar laut.
Lalu orang itu berkata pada kami ,”Tak apalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat”. “Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan?” Tanya kami.
“Uwais al-Qarni”. Jawabnya dengan singkat.
Kemudian kami berkata lagi kepadanya, “Sesungguhnya harta yang ada dikapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir.”
“Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membagi-bagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?” tanyanya.
“Ya, “ jawab kami. Orang itu pun melaksanakan shalat dua rakaat di atas air, lalu berdoa. Setelah Uwais al-Qarni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membagi-bagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tidak satupun yang tertinggal.
Selang beberapa waktu, tersiar kabar kalau Uwais telah wafat akibat terserang penyakit, tahun 39 Hijrah. Uwais al-Qarni telah pulang ke Rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya.
Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Dan Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan, ketika aku ikut mengurusi jenazahnya hingga aku pulang dari mengantarkan jenazahnya, lalu aku bermaksud untuk kembali ke tempat penguburannya guna memberi tanda pada kuburannya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas kuburannya. (Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qarni pada masa pemerintahan Umar bin Khattab)
Meninggalnya Uwais al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tak dihiraukan orang.
Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa “Uwais al-Qarni” ternyata ia tak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.
Pelajaran yang dapat diambil dari tokoh ini:
Apa keutamaan Uwais al–Qarni sehingga beliau mendapat kedudukan istimewa di sisi Allah?
         Pemuda ini merawat ibunya yang tua renta dan lumpuh dengan tulus,
         ia sering membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya.
         Kesibukannya sebagai penggembala domba dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya, ia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.
         Uwais al-Qarni terkenal sebagai anak yang berbakti pada orang tua,
         pengetahuan dan keyakinannya tentang hak-hak Allah. Ia tak menyisakan sesuatu dari hartanya, karena begitu kuatnya kecintaannya untuk menunaikan hak-hak itu dan perasaannya bahwa semua hartanya adalah milik Allah. kecenderungannya pada kebenaran dan perkataan yang benar. Ia tak menarik kekaguman dari banyak orang.
Dan sifat qana’ah (menerima apa adanya) tampak jelas keagungannya dalam pribadi Uwais.
Salah satu penggalan doa yang pernah terucap dari bibir Uwais al-Qarni
“ Ya Allah, semoga engkau memberikan kebahagiaan dan keselamatan kepada Muhammad dan kepada keluarganya. Salam untuk Rasulullah Shallallahu Aalaihi wa Sallam.”


EmoticonEmoticon