Secara geografis Nusantara –di
mana Indonesia sebagai bagian darinya--merupakan wilayah strategis baik secara
ekonomi dan politik serta pertahanan, karena posisinya pada perlintasan budaya
antar benua. Dengan posisinya yang strategis itulah Nusantara menjadi
perlintasan agama yang sangat penting. Kawasan ini mengalami perubahan budaya
dan agama yang beruntun namun berjalan cukup damai.
Kepercayaan Pagan, Hindu, Budha
dan Islam secara dialektik telah menjadi tata nilai yang berjalan di kawasan
Asia Tenggara. Nilai-nilai tersebut, bahkan, kemudian mampu memberikan
kontribusi dalam membentuk sistem pemerintahan dan varian keagamaan sendiri yang
mencerminkan pergumulan antara budaya luar dengan budaya asli Nusantara.
Lebih-lebih ketika Islam datang
ke Nusantara. Agama baru ini diterima sangat baik oleh penduduk setempat. Hal
itu karena kearifan para ulama atau wali yang datang ke wilayah ini, yang
sangat menghormati tradisi, adat istiadat, bahkan agama setempat. Islam dicoba
diselaraskan dengan ajaran setempat, karena itu tidak sedikit tradisi yang
kemudian dijadikan sarana penyiaran Islam.
Dengan cara itu mereka tidak
terusik dengan datangnya agama baru (Islam) itu, mereka menerima dengan tangan
terbuka. Apalagi agama Islam yang tidak mengenal strata sosial itu, dirasa
sangat membebaskan mereka dari kungkungan kekastaan yang ketat, karena itu
mereka turut membantu penyebarannya.
Sistem keberagamaan yang toleran
dengan tradisi lokal ini berkembang luas di kalangan Islam Nusantara yang
dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah, yang dikembangkan oleh para wali
atau ulama baik di Aceh, di Minangkabau, di Palembang di Pontianak,
Banjarmasin, Bugis, Makassar, Ternate, Nusa Tenggara dan sebagainya, pada
umumnya bermazhab Syafiiyah, atau mazhab empat pada umumnya. Mereka juga
terhimpun dalam kelompok terekat, seperti Sattariyah, Qadiriah, Naqshabandiyah
dan lain sebagainya.
Dengan kekuatan tradisi itu
mereka bisa mendirikan pusat-pusat kebudayaan, baik berupa kerajaan maupun
lembaga pendidikan pesantren dan pusat perdagangan. Dengan sarana itu Islam
berkembang pesat di seluruh penjuru Nusantara lebih intensif dan lebih langgeng
ketimbang pengaruh agama lainnya yang pernah ada.
Keutuhan dan keberagamaan
masyarakat Nusantara ini mulai terusik ketika muncul gerakan Wahabi yang
puritan. Semua tata nilai yang telah dikembangkan untuk mendukung sarana dakwah
dan ibadah itu dicap sebagai tahayul, bid’ah, dan khurafat.
Selama beberapa dasawarsa mereka
menyerang dengan sengit kelompok ahlussunnah yang bermazhab dan kaum tarekat,
karena dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Mereka ini tidak
menghendaki adanya percampuran antara Islam dengan budaya Nusantara, mereka
ingin mengembalikan Islam pada budaya Arab, yang hanya mengenal Al-Qur’an dan
Hadits. Karena cara penyiaran ajaran baru itu demikian kasar, penuh kontroversi
akhirnya, tidak diterima secara penuh oleh masyarakat.
Gelombang serangan terhadap
eksistensi Islam Nusantara itu terus berdatangan dalam setiap dasawarsa, dengan
datangnya gerakan Islam puritan yang radikal. Bahkan serangan juga datang dari
kebudayaan Barat, yang menuduh Islam ini sebagai Islam sinkretis, yang
konservatif yang tidak sesuai denagn kemajuan zaman. Bahkan saat ini sistem
kapitalisme global yang manawarkan budaya sekular dan hedonis juga memberika
ancaman tersendiri bagi keutuhan kamunitas Islam Nusantara yang dengan gigih
mempertahankan moral dan tradisi.
Sebenarnya kekuatan Islam
Nusantara ini sangat besar, karena didukung oleh mayoritas umat Islam, yang
sehari-hari dengan gigih mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah. Hanya saja
kurang terpadu dan kurang sigap dalam memainkan media, sehinga perannya seolah
menjadi terpinggir oleh kelompok-kelompok Islam garis keras yang puritan,
tetapi sebenarnya minoritas.
Tradisi ini tidak hanya Nahdlatul
Ulama, tetapi juga didukung oleh organisasi Islam yang lain seperti; Tarbiyah
Islamiyah (Padang), Al Washliyah (Medan), Al Khairat (Palu), Nahdlatul Wathon
(Mataram), Darut Dakwah wal- Irsyad/DDI (Sulawesi Selatan) dan Mathlaul Anwar
(Banten). Apabila seluruh kekuatan Islam bermazhab Ahlussunnah wal Jamaah
Nusantara ini bersatu padu, maka keberadaan Islam Ahlussunnah di Nusantara ini
akan tetap lestari bahkan mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat, bahkan
mampu menentukan masa depan bangsa ini.
Mengingat adanya tantangan yang
terus-menerus baik dari kalangan Islam radikal yang puritan maupun dari
kalangan Islam liberal yang militan, maka eksistensi Islam Ahlussunnah wal
Jamaah Nusantara ini perlu diperkuat. Hadirnya Islam Ahhlusunnah wal Jamaah
kita harapkan membawa pengaruh besar pada kehidupan bangsa di bumi Nusantara
ini.
Abdul Mu’im DZ
Pemimpin Redaksi NU
EmoticonEmoticon