Wednesday 13 June 2012

KEDUDUKAN AL-QUR'AN DAN HADIST


BAB I
PENDAHULUAN
Ahlu sunah wal jama’ah  adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadits dan ahli fiqh. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunah Nabi Muhammad SAW dan sunah Khulafaur Rsyiddin setelahnya. Merekalah kelompok yang selamat (at furqoh al-najiyah). Mereka mengetakan bahwa kelompok tersebut sekarang terhimpun dalam madzhab yang empat yaitu pengikut madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hambali.
Dalam menyesaikan persoalan hukum, golongan Ahlu sunah wal jama’ah berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama, kemudian didukung dengan Ijma’ dan Qiyas.
Dari sini dapat di ketahui bahwa sumber hukum islam tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an dan Hadits.masih ada Ijma’ dan Qiyas yang di gunakan terutama untuk menjawab persoalan yang tidak di jelaskan secara langsung dalam Al-Qur’an dan Hadis sebagai dalail utama.



BAB II
PEMBAHASAN


Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Penjelasan Allah Ta'ala tentang eksistensi diri-Nya, tentang penciptaan-Nya terhadap makhluk, tentang nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya, itu semua ada di dalam Al-Qur'an, di antaranya adalah sebagai berikut.
Allah SWT berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
Artinya : "Sesungguhnya Tuhan kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (Al-A'raaf: 54).

A.    Al-Qur’an dan Hadits (Naqli)
1.      Al-Qur’an
Merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.[1] Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 2; al-Maidah Ayat 44-45, 47 :
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Artinya : “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)
2.      Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut :
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الأغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Q.S. al-Hasyr ayat 7)
B.     Aqli Menurut Aswaja
Keberadaan berbagai alam dan beragaman makhluk, kesemuanya, bersaksi atas keberadaan Sang Pencipta: Allah Azza wa Jalla. Sebab, di dunia ini tidak ada satu pihak pun yang mengaku menciptakan alam ini selain Allah Ta'ala. Akal memandang mustahil keberadaan sesuatu tanpa pencipta. Bahkan, akal memandang mustahil terjadinya sesuatu yang paling luas tanpa pencipta. Itu sama saja seperti keberadaan makanan tanpa ada pihak yang memasak, atau keberadaan permaidani di atas tanah tanpa ada pihak yang menggelarnya. Kalau begitu, bagaimana dengan alam yang besar ini, langit dengan orbit-orbit di sekitarnya, matahari, bulan, bintang-bintang, semuanya berbeda bentuk, ukuran, dimensi, dan perjalanannya? Bagaimana dengan bumi dan apa saja yang diciptakan di dalamnya tumbuhan, hewan, jin, manusia, di samping berbagai ras manusia, dan idividu-individu yang berbeda warna, berbeda bahasa, berbeda pengetahuan, berbeda pemahaman, berbeda ciri khas, tambang-tambang yang banyak sekali, sungai-sungai yang dialirkan di dalamnya, tanah keringnya di kelilingi laut-laut, dan sebagainya?
Keberadaan fiman Allah yang bisa kita baca, renungkan, dan pahami makna-maknanya, itu semua dalil tentang keberadaan Allah. Karena, mustahil ada firman tanpa ada pihak yang memfirmankannya, dan mustahil ada ucapan tanpa ada pihak lain yang mengucapkannya. Jadi, firman Allah menunjukkan tentang keberadaan-Nya.
Firmannya mengandung perundang-undangan paling kokoh dan sistem yang paling bijak yang pernah dikenal oleh manusia. Firman yang bijak dan benar ini mustahil menutut akal manusia dinisbatkan kepada salah seorang dari mereka, sebab firman seperti itu jauh di atas kemampuan manusia, dan jauh di atas tingkat pengetahuan mereka. Jika firman tersebut bukan ucapan manusia, maka firman tersebut adalah ucapan Pencipta manusia, dan itu bukti tentang keberadaan Allah, ilmu-Nya, kemampuan-Nya, dan kearifan-Nya.

Artikel Lain yang dapat Anda Baca : Pengertian dan Hukum Telon Telon Tradisi Jawa
Adanya sistem yang cermat ini, semua makhluk hidup tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut, tidak keluar dari padanya dalam kondisi apa pun. Manusia, misalnya, spermanya menempel pada rahim, kemudian tahapan-tahapan ajaib berlangsung dan tidak ada yang melakukan intervensi di dalamnya kecuali Allah. Tiba-tiba setelah sperma itu kelaur menjadi manusia sempurna. Ini pada pembentukan dan penciptaan manusia. Seperti itu pula pada perkembangan manusia dari bayi dan anak-anak kepada besar dan dewasa, lalu tua.
Berdasarkan dalil-dalil akal dan dalil-dalil wakyu di atas, orang Muslim beriman kepada Allah Ta'ala, beriman kepada rububiyah-Nya terhadap segala sesuatu, dan ketuhanan-Nya bagi manusia generasi pertama hingga generasi terakhir. Karena asas iman dan keyakinan inilah kehidupan seorang Muslim menjadi teratur.
1.      Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian Ijma’ ada 2 macam :
a.       Ijma’ Bayani ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
b.      Ijma’ Sukuti ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan seba-gian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : “Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hukum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431:
“Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

2.      Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.

Anda Juga Bisa Membaca Artikel yang Berjudul : PANDANGAN ASWAJA TENTANG ISLAM DAN NEGARA

Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Artinya : “Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)
 “Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).

Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shaheh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.





BAB III
ANALISIS


Dalam menyelesaiakn persoalan hukum golongan Ahlu sunah wal jama’ah berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama. Namun sember hukum utama tidak hanya terbatas pada Al-Qur’an dan Hadits.
Masih ada Ijma dan Qiyas yang di gunakan terutama unsur menjawab persoalan yang tidak di jelaskan secara langsung dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai dalil utama. 

Rekomendasi Bacaan Untuk Anda: Peran dan Fungsi Guru


BAB IV
KESIMPULAN


Dari pembahasan makalah diatas maka penulis dapat menyimpulkan bahwa ;
1.      Al-Qur’an
Merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an.
2.      Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an.
3.      Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian Ijma’ ada 2 macam :
1.      Ijma’ Bayani
  1. Ijma’ Sukuti

4.      Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa. Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jambi : Sinar Grafika.
Abdurachman, Asmuni. 1985. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Bakry Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Djamil, Fathurrahman. 1997. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Logos Wacana Ilmu.
Karim, Syafi’i. 2001. Fiqih Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka setia.
Khallaf, Abdul Wahab. 1972. Fi Ulumil ushul Fiqih. Kairo : Maktabah Da’wah Islamiyah.
Muhammad Syah, Ismail. 1991. Filsafat Hukum Islam : Jakarta : Bumi Aksara.
Romli. 1999 .Muqaranah Mazahib Fil Ushul. Jakarta : Gaya Media Pratama
Qattan, Manna’. 1973 . Mabahits Fi Ulumil Qur’an. Riyadh : Mansyuratul ‘Asril Hadits.




            [1] Khallaf, Abdul Wahab. 1972. Fi Ulumil ushul Fiqih. Kairo : Maktabah Da’wah Islamiyah.

Tuesday 12 June 2012

MUNAKAHAH

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
            pernikahan adalah hal yang sangat sakral untuk kita jaga keutuhan dan perdamaian, jika suatu pernikahan yang tidak ada wali dan saksi maka pernikahannya di suatu hari akan menimbulkan permasalahan yang tidak dapat di buktikan secara hukum dan agama islam.
            dalam hal perkawinan dan pernikahan kedudukan wali sangat amat amat penting, karena jika lau dalam perkawinan dan pernikahan tidak sah dan pernikahan yang rusak yang tidak di benarkan oleh agama dan negara.
B. RUMUSAN MASALAH
            dari uraian di atas maka dapat di ambil ruimusan masalah yaitu, “ siapa saja kah yang boleh menikahkan seorang wanita, dan siapa yang menggantikan jika tidak ada wali ”.








BAB II
PEMBAHASAN
A. HADITS  WALI DAN SAKSI
yang di namakan dengan wali adalah orang yang berhak dan kuasa terhadap anak perempuannya ( pernikahan )[1],  biasanya wali identik dengan  kerabat wanita setelah bapak, jikalau bapak telah tiada atau bapak tidak mamapu untuk menikahkan putrinya,
Sedang yang di namakan dengan saksi adalah oranng yang dii percaya untuk menyaksikan dan membenarkan tentang adanya suatu perkawinan dan wanita tadi menikah sah secara agama dan sah pula menurut negara.
adapun hadits tentang wali  dan saksi dalam pernikahan adalah:
روي الامام ي الامام  احمد  عن الحسن عن عمران بن الحصين مرفوعا " لا نكا ح إلا بو لي وشا هدين "
            artinya : diriwayatkan dari imam ahmad dari hasan dari ‘imron bin husain dengan hadits marfu’  “ tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya seorang wali dan dua saksi yang adil “

وعن عا ءشه قالت : قال رسول الله : ايما امراة نكحت بغير اذن وليها فنكاحها با طل, فان دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها. فان  اشتجروا فا لسلطان ولي من لا ولي له"  اخرجه الاربعة الا النسا ءي , و صححه ابو عوانة, وابن حبا ن والحا كم
artinya :  dan dari ‘aisyah ber kata : bahwasannya rasullah bersabda :  bilamana seorang wanita menikah dengan tanpa idzin dari walinya maka pernikahannya batal demi hukum, dan jikalau telah di wathi oleh suaminya. maka si istri wajib menerima mahar untuk menghalalkan farjinya, dan jikalau wali mencegahnya untuk menikah maka sulthan ( pemimpin ) yanng sah sebagai walinya karena tidak ada orang yang mau menjadi wealinya. di imamkan oleh imam empat kecuali nasa’i. di shahihkan oleh abu ‘awanah dan ibnu hibban dan hakiem.[2]
B TAKHRIJ HADITS
            untuk menentukan derajat keshahihan hadits, diperlukan sebuah takhrij yang diawali dengan penelitian mengenai kesinambungan sanad, keadilan ddan kedlabitan rawi, terbebas dari syadt dan illat, dalam upaya penelitian sanad ini subhi shalih dalam kitabnya ulum alhadits wa musthalah mengatakan bahwa hal ini perlu dilihat dari biografi rawi tersebut, kredibilitas, hubungan antar rawi ( hubungan guru, murid, atau keluarga ), maka berikut ii adalah biogradfi singkat para perawi :
a.       ibnu majah
nama lengkapnya  muhammad bin yazid al rabi’i al qazwini abu abdillah ibnu majah,
lahir : 209 H, wafat : 273 H
kedudukan menurut ibu hajar : hafidz, seorang imam haadits
kedudukan menurut al dzahabiy : hafidz, shohib as sunan
b.      Nafi’
nama lengkap : abu abdillah a madani, wafat 117 H golongan ke 3 dari tabi’in, kedudukan menurut ibnu hakjar  : terpercaya, tsubut, faqih, mashur,
kedudukan menururt ad dzahaby : imam para tabi’in.
c.       abdullah bin umar
nama lengkap : abfulah bin  umaqr bin kghattab al quraisy al a’dawy abu abdul rahman
wafat : 73 H, golongan ke i dari sahabat, kedudukan menurut ibnu hajar : sahabat, kedudukab menurut ad dzahaby : sahabat.[3]
C. Penjelasan hadits
            dalam hadits pertama di terangkan bahwa wali adalah orang yang menikahkan seorang perempuan kepada orang laki-laki untuk menghalalkan hubungan antara suami dan istri. jikalau suatu  pernikahan  tidak ada wali maka pernikahan itu tidak sah  dan batal menurut agama dan negara. hal ini dapat diambildari pemahaman hadits tersebut yang menyebutkan bahwa wali adalah orang yangmenikahkan anak perempuannya.
            dengan berdasarkan hadits di atas bahwa wali yang bisa menikahkan,  bahwasannya wali yang dapat menikankan antara lain.
1.      bapak                                                               11. anak paman sebapak
2.      kakek                                                               12. cucu paman kandung
3.      buyut                                                               13. cucu paman sebapak
4.      saudara laki-laki sekandung                            14. paman ayah sekandung
5.      saudara laki-laki sebapak                                15. paman ayah sebapak
6.      anak laki  dari saudara laki-laki sekandung    16. anak paman ayah kandung
7.      anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak   17. anak paman ayah sebapak
8.      paman kandung                                               18. paman kakek sekandung
9.      paman sebapak                                                19. paman kakek sebapak
10.  anak paman kandung                                      20. anak paman kakek sekandung
itulah daftar orang orang yang berhak menikahkan putrinya.[4]
            dan untuk saksi merupakan orang yang di anggap mumpuni untuk menyaksikan dan sanggup untuk membenarkan tentang perkawinnannya di suatu hari jikalau di kemudian ada masalah muncul dan yang tidak di inginkan dalam suatu acara perkawinan, untuk saksi tidak di syaratkan dari kerabat mempelai, tapi orang yang di anggap mumpuni untuk menjadi saksi dalam perkawinan. [5]
            adapun syarat -  syarat saksi adalah :
1.      Islam
2.      berakal
3.      Baligh
4.      Mumayiz
5.      sehat
D. fiqh hadits
            salah satu pengaruh dari wali dan saksi adalah tentang keabsahan perkawinan seseorang, dan keabsahan seseoraang dalam berhubungan sexs terhadap kebutuhan biologis seorang  suamii terhadap istrinya,  
            dalam kitab lain di jelaskan bahwa wali dan saksi, harus lah ada dan harus orang yang mumpuni mengerti tentang hukum agama dan mengerti tentang tata cara perkawinan[6], jika lau memang wali tidak mau menikahkan, maka hakim atau pemimpin yanng memimipin di suatu wilayah itu yang berhak untuk menikahkan, guna menghindari perzinahan yang lebih meluas lagi.




DAFTAR PUSTAKA
H.S.A. Al hamdani, Risalah Nikah, jakarta : pustaka amani. 2002
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Syamila
Muhammadd bin ismail al son’ani subulus salam sarh bulughul maram, dahlan. Bandung
sayyid sabiq. fiqh sunah, beirut, dar fikr 2006.


[1] abdul ghofur, fiqih munakahah, rajawali press, bandung hlm. 10
[2] hajar al asqolani, bulughul maram, toha putra semarang, hlm. 204
[3]  muhammad bin ismail al son’ani subulus salaam sarh bulughul maram. dahlan. bandung.
[4]  kementrian agama RI. pedoman akad nikah, 2000
[5] Al hamdani, risalah nikah, jakarta : pustaka amani, 2002
[6] ibnu rusyd, bidayatul mujtahid, jakata, pusataka amani 2000